www.apelmanyun.blogspot.com
NIRINA DATANG KULIAH DI JASADMU ابيلبيمانيون.بلوغسبة.
Suara nyaring Harjo tetap merdu seperti kaset-kaset yang diputar di masjid-masjid menjelang petang datang. Burung-burung Manyar terbang bergerombol seperti pasukan perang yang membawa banyak meriam dan menjatuhkan ke setiap rumah penduduk sehingga rumah-rumah hancur, bertaburan seperti kapas tertiup angin petang. Cerobong suara Masjid Desa Sukasatu berderik-derik seperti hendak melaporkan bahwa kejadian tenggelamnya petang telah datang. Adzan datang, kita duduk, mendengarkan dengan ta'zim dan tidak boleh pergi.
Pukul delapan malam benar-benar menggeliatkan desa ini. Warung depan
masjid itu, isinya sudah mulai sibuk dan berdentang-dentang, menandakan piring
sedang beradu sengit dengan perut-perut yang lapar. Nasi mengepul dari dandang
besar di belakang dapur. Penggorengan yang menganga hendak menelan siapa saja
yang berani mendekat. Tak terkecuali tangan-tangan besi ibu-ibu yang berjibaku
dengan panas, dan sesuai perkiraanku, tangan mereka hitam legam karna jelaga ,
tapi wajah mereka masih menggariskan aura kecantikan masing-masing waktu.
Nirina Quoora Ningsih. Kurasa hanya dia yang bertangan mulus di antara tangan
ibu-ibu di sekeliling warung malam ini. Ia mengenakan celemek khas tukang masak
warung. Tangannya masih putih mulus. Aih, benar saja. Ternyata ia masih bau 18
tahunan. Baru saja beberapa minggu menjadi pasukan tukang goreng di pusara
warung lapar ini. Hahaha, benar saja aku tak pernah melihatnya bulan-bulan
lalu. Janggutnya yang masih aduhai, menyesal jika sehari saja tidak menyeduh
kopi di warung ini. Kumbang-kumbang dari belahan desa pasti berdatangan seperti
melihat bunga baru yang penuh sari madu. Ikhlas dihisap walau berkali-kali ,
tak peduli mana kumbang mana belalang. Semuanya diterima. Menyeduh kepulan kopi yang berasap-asap, mengembunkan
kerongkongan sesiapa yang mengendus-endus dari
dekat cangkir. Sesekali Ina, begitu dia akrab dipanggil, sedikit-sedikit melongok ke jam dinding. Matanya bergetar. Lehernya berdenyut-denyut. Dipantaunya hape kawakan di sakunya. Mukanya murung. Garis jidatnya berkerut-kerut. Ada sesuatu yang melintas dibenaknya, sehingga ia berkerja cepat menyudahi seduhan kopi dan goreng pisang pada seluruh kumbang-kumbang yang henti-hentinya meminta seduhan tambahan. Ina hanya geleng kepala. Lekas ia bergegas pergi dari warung itu. Di jalan kemudian hapenya bergetar. Ia kembali lagi ke warung dan disambutlah mata gahar si pemilik warung Pak Kasis, tiada bukan adalah paman jauhnya dari anak laki-laki bibinya yang telah meninggal 17 tahun silam. Ina menunduk. Lekas ia menyeduh kopi dan menghidangkan beberapa tumpuk goreng pisang diatas baki kumbang-kumbang yang tidak kenal waktu. Baru setelah 2 jam Ina baru menghembuskan napas lega. Ia akan pulang.
dekat cangkir. Sesekali Ina, begitu dia akrab dipanggil, sedikit-sedikit melongok ke jam dinding. Matanya bergetar. Lehernya berdenyut-denyut. Dipantaunya hape kawakan di sakunya. Mukanya murung. Garis jidatnya berkerut-kerut. Ada sesuatu yang melintas dibenaknya, sehingga ia berkerja cepat menyudahi seduhan kopi dan goreng pisang pada seluruh kumbang-kumbang yang henti-hentinya meminta seduhan tambahan. Ina hanya geleng kepala. Lekas ia bergegas pergi dari warung itu. Di jalan kemudian hapenya bergetar. Ia kembali lagi ke warung dan disambutlah mata gahar si pemilik warung Pak Kasis, tiada bukan adalah paman jauhnya dari anak laki-laki bibinya yang telah meninggal 17 tahun silam. Ina menunduk. Lekas ia menyeduh kopi dan menghidangkan beberapa tumpuk goreng pisang diatas baki kumbang-kumbang yang tidak kenal waktu. Baru setelah 2 jam Ina baru menghembuskan napas lega. Ia akan pulang.
"Ina, setelah ini kamu ikut saya, banyak
cucian di tempat biasa, " begitu kata paman Ina lalu pergi. Hari ini Ina
kerja lembur. Tidak hari ini saja. Tapi selamanya. Selama Tuhan masih berbaik
hati padanya. Kan kunantikan jawaban Tuhan untuk sesi ini. Tunggu saja, kawan.
Beberapa bulan selanjutnya. Ina harus menyiapkan diri mengikuti tes
masuk perguruan tinggi di jauh sana. Sesuatu yang amat tabu bagi desanya.
Kuliah hanyalah untuk anak laki-laki. Itu pun anak-anak saudagar-saudagar kelas
atas di desa. Tekad Ina sudah sangat bulat. Tiada mata gahar pamannya lagi yang
perlu ia takuti. Ia harus keluar dari mata ular itu. Keluar dari warung dan
kuliah di luar sana. "Mau kerja apa Kau di sana? Mau melacur?" Hardik
pamannya yang berjingkat-jingkat begitu
tahu rencana keponakan sekaligus karyawan dan aset warungnya sehingga ramai
sampai ini hari. Ina menunduk. Menatap mata pamannya lantas memandangnya
sesuatu yang tidak pernah sebelumnya ia melakukannya. Ia seperti berbicara
mengenakan mata. Pamannya terkesiap, karna mata
hijau keponakannya ini mulai berubah warna. Merah. Air mata merah
mengalir sulit di sisi-sisi mata Ina. Suara bergetar hebat, " Paman,
congkel saja bola mataku. Aku hendak kuliah, Paman..." Diseretnya suara itu
sehingga terdengar mengeruk perasaan.
Paginya, mata Ina lebam-lebam. Jidatnya biru. Bibirnya jontor dan rambutnya
hilang sebagian. Begitu berat baginya menjadi seorang wanita. Ia hendak
menjerit, tapi kerongkongannya tak kuasa mengeluarkan suara barang letupan satu
huruf pun.
Setahun kemudian hujan tidak pernah turun di desa itu. Kegiatan malam
yang sebelumnya padat di depan masjid itu tak lagi ada. Tembok warung itu telah
lama kosong ditinggal pelanggannya karna tak ada lagi bunga yang menarik
sungut-sungut para kumbang. Tak ada lagi
denting-denting piring yang beradu dengan perut-perut yang lapar. Tak ada juga
penghuni masjid itu. Tak ada lagi suara Harjo yang meliuk-liuk seperti ikan
Siuk dalam danau layaknya dulu. Tak ada lagi jawaban saat orang-orang bertanya
siapa pemilik warung ini. Kemana perginya para eks penghuni warung ini. Ada
cerita mereka merantau ke seberang negeri. Ada kabar mereka menebang hutan. Ada
banyak omongan mereka semua mati terlindas perut mereka karna berbulan-bulan
tak ada makanan yang berenang-renang
di perut mereka.
Kabar terkhir Paman Ina menjadi tukang sampah antar rt dalam desa. Lantas
bagaimana Ina? Entahlah sejauh ini belum ada kabar setelah kabar pemerkosaan
dirinya oleh pamannya sendiri.
Sebuah koran kota tergeletak di ruang kepala desa. Orang-orang tak ada
yang memerhatikannya. Hanya kucing yang berjingkat-jingkat dan mencakar-cakar
lembaran koran. Dilihatnya gambar ikan paus besar seukuran setengah halaman.
Semakin buas saja kucing itu, berjibaku. Di halaman belakang sobekan koran itu,
terpampang jelas headline "Ditemukan Remaja Mati Di Selokan
Universitasitas Terbuka" koran itu menutup. Terhempas terbawa angin dan
melambung-lambung tinggi entah sampai ke mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca Brother n Sister. Satu komentar dari Anda adalah bak satu bungkus Nasi Padang lengkap dengan Pucuak Ubinya :D