Adsense

...

Selasa, 10 Desember 2013

NIRINA, KUCING DAN KORAN

www.apelmanyun.blogspot.com

    NIRINA DATANG KULIAH DI JASADMU                                                         ابيلبيمانيون.بلوغسبة.
  

  Suara nyaring Harjo tetap merdu seperti kaset-kaset yang diputar di masjid-masjid menjelang petang datang. Burung-burung Manyar terbang bergerombol seperti pasukan perang yang membawa banyak meriam dan menjatuhkan ke setiap rumah penduduk sehingga rumah-rumah hancur,   bertaburan seperti kapas tertiup angin petang. Cerobong suara Masjid Desa Sukasatu berderik-derik seperti hendak melaporkan bahwa kejadian tenggelamnya petang telah datang. Adzan datang, kita duduk, mendengarkan dengan ta'zim dan tidak boleh pergi.

   Pukul delapan malam benar-benar menggeliatkan desa ini. Warung depan masjid itu, isinya sudah mulai sibuk dan berdentang-dentang, menandakan piring sedang beradu sengit dengan perut-perut yang lapar. Nasi mengepul dari dandang besar di belakang dapur. Penggorengan yang menganga hendak menelan siapa saja yang berani mendekat. Tak terkecuali tangan-tangan besi ibu-ibu yang berjibaku dengan panas, dan sesuai perkiraanku, tangan mereka hitam legam karna jelaga , tapi wajah mereka masih menggariskan aura kecantikan masing-masing waktu.
     Nirina Quoora Ningsih. Kurasa hanya dia yang bertangan mulus di antara tangan ibu-ibu di sekeliling warung malam ini. Ia mengenakan celemek khas tukang masak warung. Tangannya masih putih mulus. Aih, benar saja. Ternyata ia masih bau 18 tahunan. Baru saja beberapa minggu menjadi pasukan tukang goreng di pusara warung lapar ini. Hahaha, benar saja aku tak pernah melihatnya bulan-bulan lalu. Janggutnya yang masih aduhai, menyesal jika sehari saja tidak menyeduh kopi di warung ini. Kumbang-kumbang dari belahan desa pasti berdatangan seperti melihat bunga baru yang penuh sari madu. Ikhlas dihisap walau berkali-kali , tak peduli mana kumbang mana belalang. Semuanya diterima. Menyeduh kepulan  kopi yang berasap-asap, mengembunkan kerongkongan sesiapa yang mengendus-endus dari
dekat cangkir.      Sesekali Ina, begitu dia akrab dipanggil, sedikit-sedikit melongok ke jam dinding. Matanya bergetar. Lehernya berdenyut-denyut. Dipantaunya hape kawakan di sakunya. Mukanya murung. Garis jidatnya berkerut-kerut. Ada sesuatu yang melintas dibenaknya, sehingga ia berkerja cepat menyudahi seduhan kopi dan goreng pisang pada seluruh kumbang-kumbang yang henti-hentinya meminta seduhan tambahan. Ina hanya geleng kepala. Lekas ia bergegas pergi dari warung itu. Di jalan kemudian hapenya bergetar. Ia kembali lagi ke warung dan disambutlah mata gahar si pemilik warung Pak Kasis, tiada bukan adalah paman jauhnya dari anak laki-laki bibinya yang telah meninggal  17 tahun silam. Ina menunduk. Lekas ia menyeduh kopi dan menghidangkan beberapa tumpuk goreng pisang diatas baki kumbang-kumbang yang tidak kenal waktu. Baru setelah 2 jam Ina baru menghembuskan napas lega. Ia akan pulang.
"Ina, setelah ini kamu ikut saya, banyak cucian di tempat biasa, " begitu kata paman Ina lalu pergi. Hari ini Ina kerja lembur. Tidak hari ini saja. Tapi selamanya. Selama Tuhan masih berbaik hati padanya. Kan kunantikan jawaban Tuhan untuk sesi ini. Tunggu saja, kawan.
    Beberapa bulan selanjutnya. Ina harus menyiapkan diri mengikuti tes masuk perguruan tinggi di jauh sana. Sesuatu yang amat tabu bagi desanya. Kuliah hanyalah untuk anak laki-laki. Itu pun anak-anak saudagar-saudagar kelas atas di desa. Tekad Ina sudah sangat bulat. Tiada mata gahar pamannya lagi yang perlu ia takuti. Ia harus keluar dari mata ular itu. Keluar dari warung dan kuliah di luar sana. "Mau kerja apa Kau di sana? Mau melacur?" Hardik pamannya yang berjingkat-jingkat  begitu tahu rencana keponakan sekaligus karyawan dan aset warungnya sehingga ramai sampai ini hari. Ina menunduk. Menatap mata pamannya lantas memandangnya sesuatu yang tidak pernah sebelumnya ia melakukannya. Ia seperti berbicara mengenakan mata. Pamannya terkesiap, karna mata  hijau keponakannya ini mulai berubah warna. Merah. Air mata merah mengalir sulit di sisi-sisi mata Ina. Suara bergetar hebat, " Paman, congkel saja bola mataku. Aku hendak kuliah, Paman..." Diseretnya suara itu sehingga terdengar mengeruk  perasaan. Paginya, mata Ina lebam-lebam. Jidatnya biru. Bibirnya jontor dan rambutnya hilang sebagian. Begitu berat baginya menjadi seorang wanita. Ia hendak menjerit, tapi kerongkongannya tak kuasa mengeluarkan suara barang letupan satu huruf pun.
     Setahun kemudian hujan tidak pernah turun di desa itu. Kegiatan malam yang sebelumnya padat di depan masjid itu tak lagi ada. Tembok warung itu telah lama kosong ditinggal pelanggannya karna tak ada lagi bunga yang menarik sungut-sungut  para kumbang. Tak ada lagi denting-denting piring yang beradu dengan perut-perut yang lapar. Tak ada juga penghuni masjid itu. Tak ada lagi suara Harjo yang meliuk-liuk seperti ikan Siuk dalam danau layaknya dulu. Tak ada lagi jawaban saat orang-orang bertanya siapa pemilik warung ini. Kemana perginya para eks penghuni warung ini. Ada cerita mereka merantau ke seberang negeri. Ada kabar mereka menebang hutan. Ada banyak omongan mereka semua mati terlindas perut mereka karna berbulan-bulan tak ada makanan yang berenang-renang di perut mereka. Kabar terkhir Paman Ina menjadi tukang sampah antar rt dalam desa. Lantas bagaimana Ina? Entahlah sejauh ini belum ada kabar setelah kabar pemerkosaan dirinya oleh pamannya sendiri.
    Sebuah koran kota tergeletak di ruang kepala desa. Orang-orang tak ada yang memerhatikannya. Hanya kucing yang berjingkat-jingkat dan mencakar-cakar lembaran koran. Dilihatnya gambar ikan paus besar seukuran setengah halaman. Semakin buas saja kucing itu, berjibaku. Di halaman belakang sobekan koran itu, terpampang jelas headline "Ditemukan Remaja Mati Di Selokan Universitasitas Terbuka" koran itu menutup. Terhempas terbawa angin dan melambung-lambung tinggi entah sampai ke mana.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembaca Brother n Sister. Satu komentar dari Anda adalah bak satu bungkus Nasi Padang lengkap dengan Pucuak Ubinya :D