Adsense

...

Sabtu, 18 Mei 2013

Cerita Timbangan Segikotak

Timbangan Segikotak

oleh Imam Sibaweh Persian (Catatan) pada kemarin hujan 2013 pukul 20:23

merah marun agak tua, itulah warna faforit orang lain entah siapa dan aku tak peduli. Mata pisau ini agak tumpul. Kugesek-gesekkan pada pangkal batu asah, bunyinya merusak suasana. Terima kasih untuk buku biru itu dan akan kubuatkan papan kotak untuk menguburnya. Aku tak kuasa terus memelihara kepunyaanmu. Aku takut Tuhan marah, atau seenggaknya tak marah karna mungkin kamu lah yanga marah. Di pagi itu setelah kau antar nasi opor lengkap dengan daun pisang ambon yang rasanya menggeledah isi tenggorokanku, kau titipkan juga sebilah pisau karatan untuk kau suruh agar aku mengasahnya. Di hari lain akan kukeluarkan timbangan merah marun Ayah dan akan kujual kepada Koh Bambang. Aku tahu beliau adalah pamanmu, tapi aku harap kau tak menghasut pamanmu untuk bilang barangku jelek, kuno lah, bau lah.
Di hari berikutnya akan kutelepon kakakku yang ada di antah berantah. Kukabari burung jalaknya mati kelaparan agar iya gelagapan dan pulang segera. Di tahun berikutnya akhirnya timbangan segi aneh ini kustrika dibawah terik matahari yang kurasa sangat terlalu dingin. Ayah bilang terserah mau aku apakan dengan timbangan ini... Dan tiba2 kau mnyelundup dari belakang dan bilang, "Jangan buang timbangan itu, kau bisa meminjamkan padaku. Akan kutimbang hatimu, seberapa layakkah Engkau di sini," katamu sambil meletakkan telunjuk di dada kirimu. Aihh, aku tersenyum saja. Lantas berhari2 kubiarkan timbangan itu kau bawa. Dan sampai hari ini aku masih timang2 kaki di atas kursi sambil menghitung beberapa ratus kali kau membopong ratusan ton karung beras, lalu tergopoh2 orang2ku menyambutnya dengan suka cita,,,
Terima kasih timbangan merah===
BACA SELENGKAPNYA>>>

Permisi, gelisah di Mana...

Maaf, permisi. Boleh saya nulis? Saya sedang gelisah

oleh Imam Sibaweh Persian (Catatan) pada kemarin pukul 15:09

Hiruk pikuk rumahku hari ini tak ada bedanya dengan pasar kebakaran. Tapi aku merasa rumah ini seperti kuburan. Tidak orang yang benar2 hidup. Semuanya mati. Mati rasa dan tak peduli. Kalau saja aku bisa kirim surat kepada Tuhan, tak perlu setiap kali aku menuliskan curahanku di blog yang bagi orang banyak mungkin tak terlalu penting. Kalau pun bisa, aku pasti akan mengadu, lewat sms, email dan yang terakhir doa, seperti sudah-sudah muak telingaku mendengar orang2 i telivisi yang mengaku ustadz, padahal isi tenggorokannya sama saja. Cari makan.
Seperti biasa, aku bolos sekolah lagi hari ini. Menghabiskan waktu i warung kopi Mak Tun hanya sekedar melamun dan aku berjanji tak akan pulang ke rumah lagi kali ini. Entah habis ini akan ke mana akan kubuang tubuhku ini. Mungkin ke jalanan, trotoar, jembatan atau paling beruntung menginap seapartemen bersama presiden di Cikeas sana. Kubilang, aku tak punya rumah, aku tak tau kejelasan masa depanku dan aku meminta beliau bertanggung jawab untuk melindungiku sebagai anak muda yang disesatkan oleh jalanan. Lain hari lagi, aku tak jadi bertemu presiden kerna aku tak pernah tau siapa dan di mana rumah presidenku. Aihh... Aling2 ngurusin sipa presidenku hari ini. Untuk makan sesuap nasi saja aku perlu bergelut dengan anak jalanan demi beberapa koin yand dijatuhkan dari jendela mobil, di lampu merah dan kemacetan hiruk pikuk kota yang tak kukenali sama sekali. Kusisihkan rambutku ke belakang. Udara terik sekali memaksaku memanggang rambut sertatubuhku yang kering bagai selembar koran. "koran,,,, koran,,, koran,,," kulihat bapak2 setengah manyun mengibaskan korannya yang tak laku2. Aku salut, mau saja dia disuruh agen koran menjualkan koran bekasnya. Siapa mau barang kw dua macam hari telekomnikasi ni ?
Hari minggu. Aku sudah benar2 lupa dan menunggalkan rumahku. Sudah 6 hari aku terpontang panting berlari i jalanan. Berebutan tempat tidur di balik etalase toko saat hujan tiba di malam hari. Berebut kardus dan paling memuakkan adalah kejaran satpol pp kota yang bagiku tak ada bedanya dengan anjing pesuruh wali kota yang lagi2 tau tahu menahu siapa dia. Esok harinya aku harus menumpang truk arah Jakarta. Tujuanku sama. Jakarta. Akan kubuat rumah bagus di sana, meski haru smenggembel berbulan2 bertahun2, tak makan berhari2 badan lunglai bak layangan plastik. Tapi aku yakin. Suatu hari nanti akan kukuasai seluruh kafe seluruh Jabodetabek. Kalo perlu, anak cucu presien hari ini harus jai tuakng cuci kafeku dan tak tanggung2 gaji mereka akan kulebihi dari pada gaji bulanan kakek mereka.
lain kali lagi aku akan kembali, hri sudah petang. Aku harus kembali. Permisi..
BACA SELENGKAPNYA>>>